Follow me on Twitter RSS FEED

Lagu

Posted in
Kudengarkan...
Sebuah alunan nada
Menenangkan...
Menghangatkan...
Segala sesuatu yang ada

Kudengarkan...
Alunan nada-nada
Merasuk ke dalam sukma dan jiwaku
Membuatku melayang dalam,
sebuah ketentraman

Kudengarkan...
Alunan nada-nada
Menemaniku
Dalam gelap, tanpa cahaya
Hingga aku terlelap
Ke dalam mimpi indahku

Ingin Puisimu Dimuat Di Sini?

Posted in
Halo para pembaca puisi sekalian...

Ingin tulisan puisi,syair pantun dan lain-lain yang berhubungan dengan puisi ingin di muat di laman blog ini?

Kamu bisa kirimkan teks puisimu ke e-mail di bawah ini:
adli_bughoriyyah@yaho.co.id

Jangan lupa pula sertakan nama anda ok...
Eiits... satu lagi, tolng sebarkan ( share ) blog ini ya.

Terima kasih banyak.

Kengan pada Dunia Kanak-Kanak (Cipt.Taufiq Ismail)

Masih ingatkah kau, masa bocah kita
Sekali lama, di desa Zahleh karunia
Betapa di kebun anggur dua bayang bertemu
Bertukar gelak di rimbun semak rindu?

Masih ingatkah kau, bila kita bersirebutan
Memetiki gugusan anggur paling matang
Dan semua kita bayar dengan rekah senyuman
Bercita rasa manis mabuk kepayang?

Masih ingatkah kau pagi malaikat berdua
Pada pelukannya kemesraan dan kesayangan
Melambungkan kita ke kilau-kilau angkasa
Meninggi hingga kita lingkari kayangan?

Dan bagaimana sungai yang selalu kita mudiki?
Masihkah ia mengalir dengan biru tanah tepi?
Ah, begitulah cinta meramu semua
Memerciki pepohonan dengan kebugarannya.

Siasat Baru, no. 637, thn XIII, 26 Agustus 1959

Taufiq Ismail
Puisi-puisi awal (1953-1960)

Dua Sajak Pegungan Libanon (Cipt.Taufiq Ismail)

Sampaikan Kepada Gadis Tetangga Itu

Sampaikan kepada gadis tetangga itu Yang menitipkan hatinya padaku Katakan padanya: telah aku jual Firdausnya Dengan harga murah
Dan aku bersandar di sini. Nyanyi Pada pintu bar.

Jemari

Perempuan dengan mata hijau Yang memetiki mawar kuning Semuanya janji Di musim semi Kehilangan jemari, antara serba bunga Dan menariki ujung-ujungnya Dengan kuncup mawar.

Media, no. 7, thn IV, Februari 1958

Taufiq Ismail
Puisi-puisi awal (1953-1960)

Hanggar 17 (Cipt.Taufiq Ismail)

Di malam seng seng gudang menyanyikan cahaya bulan sebulatnya hati rindu yang terkapar penumpang bersesak di dek dikemahi tenda kasar pelampung dibasuh alun mengkaca bintang dan bulan

Kamar kapitan disiur temali tiang haluan orang-orang ramai berkemas lupa mabuk tanjung cina di palka bunda cenung memangku ananda tidur diriba mengimpi disusul bapa kota jakarta

Buritan berterali besi kesat diuapi garam buyung dan gadis berceloteh gelak asing mengempas anak-anak heboh berbenah cucu asing pula nakalnya di luar langit dan laut, kapal terjangkar disapu warna kelabu

Kapal ini dari logam tua angguknya dalam satu-satu kelabu warna tanjung, hitam kapal beracungan tiang-tiang lautnya bernafas berat dan alim, laut teluk jakarta begini cinta kelabu warna kuala diperaki bulan dan kerdip bintang mengkilat kelabu tanjung periuk sosok hitam kapal terjangkar Di geladak semakin ribut pasasir semakin cerewet dentang-dentang kamar mandi, centeng-perenang barang pamili maki dan carut, bahak dan celoteh kakek bertudung handuk, dara bergaun malam mendenyut di kelenjar tubuh pukau merapat ke pelabuhan pukau daratan mengental ke dentang-dentang di jantung

Mesin uap menderu berat air bersibak ke hanggar tujuh belas masing penumpang dengan jantungnya sendiri, naik merapat langit tanjung periuk panas oplet deru mendebu mengantar pasasir ke riuh laga di kota jakarta.

Kisah, no 12, thn III, Desember 1955

Taufiq Ismail
Puisi-puisi awal (1953-1960)

Lagu Roban (Cipt.Taufiq Ismail)

Bermerahanlah bunga semak liar pesisir rimba jati Pantai sepanjang liku berlambai kelopak randu
-dan menjarak kau,
-musim kemarau bertangan pijar

Limas bukit biru remaja, jati-jati berputik Laut genit mengempas pucuk buih berbunga
-dan bermukimlah kau,
-musim hujan berdada lembut.

Kisah, no 12, thn III, Desember 1955.

Taufiq Ismail
Puisi-puisi awal (1953-1960)

Lewat Jendela ( Cipt.Taufiq Ismail )

Sebuah jendela meraihkan malam bagiku Seperti beribu malam yang lain. Ia berkiut Pada engsel waktu Ia membawa tempias. Debu Dan cahaya bulan persegi Yang jatuh miring ke atas mejatulis

Dua daun paru-paru yang menapasi kamar ini Setiap bayangan menyelinap, rusuh diburu Berkiut pada engsel waktu Di seberang awan tersangkut di pucuk-pucuk cemara Memberi siang. Matahari. Langit Di waktu jarum berpacu dengan angin

Bisik renyai sore gerimis, turun tertegun Kulekapkan dahiku ke kaca. Dan kuguratkan Namamu di atasnya perlahan Dengan jariku yang gemetaran Pada kaca gerimis berlinangan.

1960

Taufiq Ismail
Puisi-puisi awal (1953-1960)

Rendez-vouz

Sejarah telah singgah
Ke kemah kami
Ia menegur sangat ramah
Dan mengajak kami pergi

“Saya sudah mengetuk-ngetuk
Pintu yang lain,”
Katanya
‘Tapi amat heran
Mereka berkali-kali menolakku
Di ambang pintu.”

Klni kami beratus-ribu
Mengiringkan langkah Sejarah
Dalam langkah yang seru
Dan semakin cepat
Semakin dahsyat
Menderu-deru
Dalam angin berputar
Badai peluru
Topan bukit batu!

1966

Kemarau di Desa Bangkirai (Cipt.Taufik Ismail)

Seekor anjing melolong larut di lereng bukit bertubir
Bulan merah di sungai bulat mengapung. Hangus dan pijar
Kurus lembah kuning patah daun tebu didukung punggung gunung
Melantun bayang tetes pancuran: tubuh jerami merapuh

Malam Ramadan dinginnya menusuk ke hulu tubuh
Kemarin tengah hari udara meleleh
Di Padang Panjang Kerbau si Sati, kambing coklat mengah-ngah
Kilangan berputar deriknya ngilu tebu begitu kurus-kurus

Di ladang padi sekeping bumi kering makin retak-meretak
Di jantung penghuni rindu dan dahaga tetak-menetak

Kami terbaring di pondok pelupuh
Malam Ramadan ngilunya lagi
Ketika teriakan siamang bertalu membelahi lembah
Sati melompat bangkit menerjang daun jendela: Hitam kental mencat daerah sangsai

Lereng huma padi mendenting kehausan
Musim manis pabila tiba?

hari berhujan sayang subuh berasap tungku tengguli

Tapi malam kemarau belah teriakan siamang bertalu-talu*)
Menopan ke jantung penghuni mengentali deru
Musim hujan datang! Musim hujan datang!

Hujan oooi, hujaaaaan!
Hujan oooi, hujaaa – aaa aa – aaan!


Kisah, no 7, thn. III, Juli 1955

Taufiq Ismail
Puisi - Puisi Awal (1953 - 1960)

*) Penduduk sekitar Baruh di kaki gunung Singgalang bertahayul, bahwa apabila di larut malam siamang berteriak-teriak, maka keesokannya tentu akan terjadi apa-apa yang luar biasa.

Dadang, Pemetik Kecapi Tua ( Cipt.Taufik Ismail)

Kepada Bahrum Rangkuti

Dilingkarkannya angin pegunungan pada denting-denting selalu di suara sendu berlagu margasatwa

Bila Dadang tiba tua, dan ada bersua senyap angin bening lembah

Kumandanglah kumandang timang desir lena angin subuh bambu-bambu berlagu selalu rindu

Sepagi embun Dadang tua tiba, menyingkap cadar hari berlagu lembah biru dan burung pagi mengitari dada bumi.


Siasat, no 372, thn VIII, 25 Juli 1954

Taufiq Ismail
Puisi - Puisi Awal (1953 - 1960)

Doa dalam Lagu ( Cipt.Taufik Ismail )

buku karena engkau merahimiku Merendalah tenteram karena besarlah anakmu

Ayahku karena engkau menatahku Berlegalah di kursi angguk laki-laki anakmu

Tuhanku karena aku karat di kakiMu Beri mereka kesejukan dalam dan biru.

1953

Taufiq Ismail
Puisi - Puisi Awal (1953 - 1960)

Rimba Jati (Alas Roban), Taufik Ismail

Rimba Jati (Alas Roban)

Mendenyut kemarau ke jantung rimba Hutan Roban jati mengujur bukit Kehidupan coklat terbentang di sela musim

Seekor elang menyelinap hitam dahan-dahan botak telanjang Lengking menikam ruang terkabar daun-daun kesat membumi Tanah mersik menua, jati dewasa di dada

Mendesing musim ranggas kuning-kuning bercenungan Bukit penyimak peristiwa terbungkuk tua Mengujurkan kakinya ke laut kelabu

Gairah terbaring pada satu hanya musim Depan rimba jati, mendenting pada satu titik api Gairah terik musim membakar jantung rimba jati

Menerjang asin ombak ke kaki bukit terbungkuk tua Bumi mersik lekah di puncak demam makin melela Demam rimba jati dituang ke satu titik api musim di muka.

Siasat, no 416, thn. IX, 29 Mei 1955

Taufiq Ismail
Puisi - Puisi Awal (1953 - 1960)

Doa (Cipt.Chairil Anwar)

kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku

aku mengembara di negeri asing

Tuhanku

di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

13 November 1943

Sajak Putih (Cipt.Chairil Anwar)

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah…

Malam (Cipt. Chairil Anwar)

Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga
--Thermopylae?-
- jagal tidak dikenal ? -
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang

Zaman Baru,
No. 11-12
20-30 Agustus 1957

Prajurit Jaga Malam (Cipt.Chairil Anwar)

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu......
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !

(1948)
Siasat,
Th III, No. 96
1949

Yang Terampas Dan Yang Putus (Cipt.Chairil Anwar)

kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin

aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang

tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku

1949

Kumpulan Puisi Chairil Anwar

SENJA DI PELABUHAN KECIL
buat: Sri Ajati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
1946

Cintaku Jauh di Pulau (Cipt.Chairil Anwar)

Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja,”

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.

1946

Malam Di Pegungungan (Cipt.Chairil Anwar)

Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!

1947

Diponegoro (Cipt.Chairil Anwar)

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti
Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri
Menyediakan api.

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai

Maju
Serbu
Serang
Terjang

(Februari 1943)
Budaya,
Th III, No. 8
Agustus 1954